Belakangan ini, publik kembali dihebohkan dengan tuduhan yang menyudutkan profesi guru: guru disebut gemar 'bersedekah nilai' kepada murid. Istilah ini ramai digunakan setelah muncul pernyataan yang menyebut bahwa nilai rapor banyak dimanipulasi demi citra sekolah atau demi kelulusan. Tudingan tersebut menyebar cepat, dianggap sahih tanpa menelusuri lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di balik meja guru.
Mari kita luruskan. Memberi nilai yang tidak sesuai bukanlah bentuk ‘sedekah’ dalam arti positif, melainkan cerminan dari tekanan sistemik yang sudah lama membelenggu dunia pendidikan. Guru bukanlah pemberi hadiah nilai, tetapi pelaksana kebijakan yang berada di antara kejujuran dan tuntutan sistem yang kaku. Banyak guru terpaksa menaikkan nilai agar siswa bisa lulus, sekolah tidak dicap buruk, dan akreditasi tetap aman. Jika tidak, karier mereka sendiri bisa jadi taruhannya. Sedekah nilai bukan keputusan tunggal guru, tapi tekanan dari sistem yang seringkali tak memberi ruang pada objektivitas.
Selain itu, ekspektasi masyarakat terhadap "angka cantik" dalam rapor juga memperparah situasi. Sekolah yang muridnya nilainya rendah akan dianggap gagal. Guru yang berani jujur memberi nilai apa adanya malah sering mendapat tekanan dari orang tua, bahkan dari kepala sekolah sendiri. Nilai rapor menjadi komoditas, bukan lagi refleksi kemampuan belajar. Kami bukan pemalsu nilai, kami hanya tersandera oleh sistem dan harapan yang menumpuk di pundak kami.
Ironisnya, ketika tes berbasis komputer (USBK atau ANBK) justru menunjukkan hasil yang jauh berbeda dari rapor, gurulah yang dituding bermain curang. Padahal gap itu muncul karena sistem penilaian sekolah yang tidak diberi ruang transparansi dan tekanan untuk menaikkan angka demi ‘prestise’. Situasi ini membuat banyak guru merasa tak nyaman dan stres, merasa tidak dihargai dalam kejujurannya.
Sebagai bangsa, sudah saatnya kita berhenti mencari kambing hitam. Perlu evaluasi total terhadap sistem penilaian, dan memberi ruang aman bagi guru untuk jujur tanpa takut kehilangan martabat atau posisi. Sebab sesungguhnya, kami tidak pernah bersedekah nilai, kami hanya tidak punya pilihan lain.
Di Balikpapan sendiri, banyak guru menghadapi tantangan ganda: beban administrasi tinggi, target penilaian yang harus ideal, hingga tekanan dari berbagai pihak untuk membuat sekolah tampak sukses. Di sisi lain, guru yang mencoba jujur memberi nilai apa adanya justru dianggap tak mampu mengajar. Maka jangan heran, jika akhirnya sebagian guru memilih diam dan mengikuti arus. Nilai tinggi menjadi bentuk "pertahanan", bukan karena ingin menipu, tapi karena ingin bertahan.
Kami tidak pernah sedekah nilai, Pak. Kami hanya berdiri di antara sistem yang seringkali tidak memberi ruang bagi kejujuran. Kami ingin murid-murid kami belajar dan bertumbuh dengan jujur. Tapi jika sistem terus mengukur prestasi hanya dari angka dan lupa pada proses, maka selama itu pula, guru akan selalu berada dalam dilema yang tak kunjung selesai.
Penulis : Tim Redaksi Portal KKG PAI Balikpapan