Di ruang kelas, guru berdiri sebagai pengarah. Tapi di ruang publik, guru berdiri sebagai sasaran. Bukan karena salah... tapi karena selalu dianggap kurang pas.
Terlalu tegas, dibilang galak. Terlalu lembut, dibilang tak punya kendali.
Ketika mencoba mencairkan suasana dengan sedikit humor, muncul anggapan: "gurunya kurang berwibawa."
Namun saat menjaga ketegasan dan fokus, datang komentar lain: "gurunya kaku, gak asyik."
Guru memberi PR, disebut menyiksa. Tak memberi PR, dianggap tak serius.
Guru punya usaha sampingan, dibilang tak fokus. Tak punya usaha, dianggap tak berkembang.
Guru datang terlambat sekali, langsung dicap tak niat. Tapi murid terlambat berkali-kali? Ah... “maklum, masih anak-anak.”
Ketika guru mengeluh, katanya tak ikhlas.
Saat guru posting motivasi, dikira menyindir.
Dan saat guru diberi hadiah karena dicintai muridnya? “Wah, gratifikasi.”
Ketika guru mengolah nilai agar tidak menjatuhkan mental anak-anak, malah disebut "sedekah nilai".
Aneh memang.
Di satu sisi, guru diharapkan jadi teladan yang kuat, sabar, visioner, dan selalu benar.
Tapi di sisi lain, guru pun manusia yang tak pernah cukup benar di mata banyak orang.
Lucunya, kita hidup di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan,
tapi sering kali lupa bahwa yang mendidik juga butuh dimanusiakan.
Mungkin ini saatnya kita mengubah cara pandang:
bahwa menjadi guru bukan berarti harus kebal dari penilaian,
tapi tolong... berilah ruang untuk guru juga tumbuh, juga salah, dan juga belajar.
Karena di balik semua persepsi itu, guru tetap datang pagi, membuka buku, menyiapkan materi dan berdiri di depan kelas. Bukan karena ingin sempurna, tapi karena ingin bermakna.
Menjadi guru bukan tentang selalu benar, tapi tentang selalu berniat baik meski sering disalahkan.
#RefleksiGuru
#OpiniPendidikan
#CatatanHatiGuru
#HormatUntukGuru
#GuruJugaManusia
Penulis : Tim Redaksi KKG PAI Balikpapan
Editor : Runza